
BRICS, aliansi yang kini terdiri dari 10 negara berkembang, mengecam keras serangan militer Amerika Serikat dan Israel terhadap Iran. Dalam KTT dua hari di Brasil, para pemimpin negara dari anggota tersebut menyuarakan kemarahan kolektif mereka dan menuntut solusi damai atas konflik yang terus membara di Timur Tengah.
Para pemimpin tidak tinggal diam. Mereka mengeluarkan pernyataan tegas yang menyalahkan tindakan Israel sejak 13 Juni 2025, ketika Tel Aviv melancarkan serangan mendadak ke wilayah Iran. Sembilan hari kemudian, AS ikut menggempur dengan serangan udara, memperburuk ketegangan kawasan.
BRICS Tegaskan Dukungan untuk Iran
Iran bukan negara asing bagi BRICS. Tahun ini, Iran resmi bergabung sebagai anggota baru, dan para pemimpin BRICS langsung menyatakan solidaritas terhadap negara tersebut. Mereka menuduh AS dan Israel melanggar hukum internasional serta prinsip Piagam PBB.
Alih-alih berbasa-basi, para pemimpin langsung menyebut tindakan itu sebagai “pelanggaran serius terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Iran.”
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa berdiri di garis depan. Dalam pidato pembukaannya, ia menyatakan:
“Serangan ini mengancam stabilitas kawasan dan menabrak prinsip-prinsip dasar hukum internasional. BRICS tidak bisa diam.”
Desak Israel Mundur dari Gaza
Tak hanya membela Iran, BRICS juga menyorot situasi di Gaza. Mereka mendesak Israel untuk segera menarik pasukannya dari wilayah tersebut. Mereka menuntut gencatan senjata permanen, tanpa syarat, dan pembebasan semua sandera yang masih ditahan.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyuarakan kekhawatiran terhadap krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Palestina. Ia menyoroti blokade Israel yang menghalangi bantuan medis dan pangan masuk ke Gaza.
“Ini bukan sekadar konflik. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang dibiarkan tanpa solusi,” tegas Lula.
BRICS Tunjukkan Wajah Baru Dunia
KTT di Rio de Janeiro menjadi bukti bahwa BRICS telah bertransformasi. Dulu hanya lima negara — Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan — kini bertambah menjadi sepuluh dengan bergabungnya Indonesia, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.
Aliansi ini tidak lagi hanya bicara soal ekonomi. Mereka aktif mengambil posisi dalam isu global: konflik, perdagangan, bahkan reformasi lembaga dunia.
Mereka menolak dunia yang dikendalikan oleh segelintir negara kuat. Kini, mereka ingin suara negara berkembang ikut menentukan arah global.
Teguran untuk AS dan NATO
Walaupun tidak menyebut Amerika Serikat secara eksplisit, isi pernyataan BRICS sangat jelas mengarah ke Washington. Mereka menolak kebijakan sepihak, terutama soal peningkatan anggaran militer NATO hingga 5% dari PDB — desakan langsung dari Presiden Trump pada KTT NATO bulan lalu.
“Alih-alih memperkuat perdamaian, mereka justru memperbesar konflik,” ujar Ramaphosa.
Tak hanya soal militer, BRICS juga menolak tarif dan hambatan dagang yang dilakukan negara-negara besar. Mereka menilai tindakan ini merusak perdagangan global dan bertentangan dengan prinsip WTO.
Netanyahu di Bawah Tekanan
Deklarasi BRICS muncul hanya sehari sebelum Netanyahu terbang ke Washington untuk bertemu Donald Trump. Di saat dunia menyorot serangannya ke Gaza dan Iran, tekanan diplomatik terus meningkat.
Netanyahu harus menghadapi dua medan sekaligus: kecaman internasional dan kritik dalam negeri. Banyak kalangan menyalahkan kebijakannya yang dianggap agresif, menyebabkan ribuan korban sipil dan krisis diplomatik.
Dengan tekanan dari BRICS, Netanyahu tak bisa lagi mengabaikan suara dunia yang menuntut deeskalasi.
Dewan Keamanan PBB Harus Berubah
Isu reformasi Dewan Keamanan PBB kembali mencuat. BRICS menilai komposisi saat ini tidak mencerminkan keseimbangan dunia. Lima anggota tetap — termasuk AS dan Inggris — terlalu mendominasi, sedangkan negara berkembang jarang mendapat tempat.
“Kita butuh sistem yang lebih adil,” kata Presiden Lula. “Dunia sudah berubah, tapi PBB masih jalan di tempat.”
BRICS ingin membuka ruang bagi negara-negara besar dari Global South untuk duduk dan menentukan arah perdamaian dunia.
Indonesia Ambil Peran Strategis
Bergabungnya Indonesia ke BRICS membuka babak baru. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, posisi Indonesia menjadi penting dalam isu Palestina dan Timur Tengah.
Pemerintah Indonesia menyambut baik deklarasi BRICS dan menyerukan pendekatan diplomasi aktif. Menteri Luar Negeri menyatakan, “Indonesia berdiri bersama negara-negara yang memperjuangkan perdamaian dan keadilan.”
Kehadiran Indonesia juga memperkuat posisi ASEAN dalam percaturan global, memberi warna baru dalam kebijakan luar negeri Indonesia yang selama ini bebas-aktif.
Iran Dapat Dukungan Internasional
Iran bukan sekadar korban. Negara itu kini memegang kartu penting di BRICS. Dalam forum tersebut, Iran menyampaikan kekhawatiran serius terhadap keberpihakan lembaga internasional terhadap negara-negara besar.
Pemimpin Iran mengajak seluruh negara BRICS untuk mendorong investigasi internasional atas serangan militer terhadap wilayahnya.
Dengan BRICS sebagai pelindung baru, Iran tak lagi sendirian dalam menghadapi tekanan dari Washington dan Tel Aviv.
Dunia Sedang Bergeser
KTT BRICS 2025 bukan hanya soal pernyataan diplomatik. Ini adalah tanda bahwa dunia multipolar sedang tumbuh. Negara-negara Global South mulai membentuk blok alternatif, dengan nilai dan tujuan sendiri.
Kritik terhadap dominasi Barat kini terdengar lebih lantang. BRICS mendorong sistem dunia yang lebih adil, setara, dan mewakili seluruh benua — bukan hanya kekuatan lama.
Penutup
BRICS bukan lagi bayang-bayang G7. Dalam waktu singkat, aliansi ini berubah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan moral baru. Kecaman terhadap serangan AS-Israel ke Iran hanyalah satu dari banyak suara yang akan mereka suarakan.
Saat Netanyahu bertemu Trump hari ini, dunia menunggu apakah suara BRICS cukup kuat untuk membalikkan arah konflik. Tapi satu hal sudah pasti: dunia tak lagi sama, dan BRICS telah mengambil posisi.