Babak Baru yang Membara di Timur Tengah
Timur Tengah kembali diguncang perang. Kali ini bukan soal negosiasi diplomatik, tapi dentuman rudal dan serangan udara. Pada Jumat, 13 Juni 2025, dunia menyaksikan serangan mendadak Israel ke jantung Teheran. Serangan tersebut menewaskan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam tubuh militer Iran: Hossein Salami, Panglima tertinggi IRGC (Islamic Revolutionary Guard Corps).
Serangan ini bukan sekadar operasi militer. Ia adalah sinyal eskalasi. Tanda bahwa dendam yang telah lama disimpan dua negara ini—Iran dan Israel—akhirnya mencapai titik didih. Situasi yang sebelumnya panas, kini benar-benar meledak.
Tewasnya Panglima IRGC, Titik Balik Bagi Iran
IRGC bukan militer biasa. Dibentuk pada era Revolusi Islam 1979, IRGC telah tumbuh menjadi pilar utama kekuasaan Iran. Pengaruhnya bukan hanya dalam bidang pertahanan, tapi juga menyebar ke ranah politik, ekonomi, bahkan kebudayaan. Ketika Hossein Salami tewas dalam serangan udara, itu bukan hanya kehilangan seorang jenderal—tapi kehilangan simbol kekuasaan dan stabilitas nasional.
Menurut laporan sejumlah sumber lokal, serangan Israel diarahkan ke pangkalan strategis di pusat kota Teheran. Dampaknya bukan hanya fisik, tapi juga psikologis. Rakyat Iran dikejutkan. Dunia internasional pun terperangah.
Israel dan Strategi Pra-emptif
Israel tak pernah menyembunyikan kekhawatirannya terhadap program nuklir Iran. Sejak awal, Tel Aviv menilai proyek nuklir tersebut sebagai ancaman eksistensial. Dalam strategi militer Israel, doktrin serangan pra-emptif selalu jadi pilihan utama. Daripada menunggu diserang, lebih baik menyerang lebih dulu.
Serangan ke Teheran menjadi bukti bahwa Israel bersedia mengambil risiko tinggi demi menjinakkan ancaman dari Iran. Serangan ini dianggap sebagai bentuk “defense through offense” yang mengingatkan kita pada taktik serupa yang dilakukan Israel dalam Perang Enam Hari 1967.
Timur Tengah, Kawasan yang Tak Pernah Damai
Warisan Konflik Sejarah
Timur Tengah menyimpan sejarah panjang konflik berdarah. Dari Perang Arab-Israel 1948, Perang Irak-Iran tahun 1980-an, hingga invasi AS ke Irak pada 2003, kawasan ini tak pernah benar-benar sunyi dari letupan konflik.
Kini, perang Israel-Iran bisa menjadi front baru dalam peta konflik global, bersanding dengan Rusia-Ukraina di Eropa Timur dan ketegangan India-Pakistan di Asia Selatan.
Dendam Geopolitik dan Adu Hegemoni
Bukan Sekadar Konflik Dua Negara
Perang ini bukan sekadar urusan dua negara. Ini adalah pertarungan ideologi, budaya, dan kekuasaan. Bagi Iran, Israel adalah kepanjangan tangan Barat di kawasan Arab. Sebaliknya, bagi Israel, Iran adalah pusat ancaman ideologis dan militer yang menggerakkan kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan milisi Syiah di Irak.
Keduanya bukan sekadar bertikai secara militer, tapi juga dalam diplomasi, teknologi, dan pengaruh budaya. Iran ingin membuktikan bahwa mereka bisa menandingi hegemoni Israel dan sekutunya, sementara Israel ingin memastikan bahwa Iran tidak pernah mencapai titik dominasi regional.
Perspektif Realisme Politik
Iran menyadari bahwa kekuatan militer dan nuklir adalah alat negosiasi utama di dunia modern. Dalam logika realisme politik, kekuatan adalah satu-satunya cara bertahan. Bukan kebetulan jika program nuklir Iran dipercepat dalam satu dekade terakhir. Mereka belajar dari nasib Irak, Libya, dan Suriah: tanpa deterrent kuat, negara bisa dihancurkan kapan saja.
Respons Balasan Iran—Tinggal Menunggu Waktu?
Pasca serangan Israel, pertanyaan besar muncul: kapan Iran membalas?
Sejumlah analis percaya bahwa Iran tak akan tinggal diam. Balasan bisa datang dalam berbagai bentuk:
-
Serangan rudal ke wilayah Israel.
-
Aktivasi jaringan milisi pro-Iran di Lebanon, Suriah, Irak.
-
Serangan siber skala besar.
-
Operasi sabotase di wilayah sekutu Israel.
Namun Iran juga tahu, serangan membabi buta akan memicu reaksi global. Maka dari itu, kemungkinan besar Iran akan memilih pola balas dendam strategis—bermain di balik layar namun berdampak besar.
Ancaman Terhadap Stabilitas Global
Dampak Ekonomi Dunia
Ketegangan Iran-Israel bisa berdampak langsung ke ekonomi global. Iran merupakan pemain kunci dalam pasar minyak, dan setiap ancaman terhadap jalur distribusi seperti Selat Hormuz bisa memicu lonjakan harga minyak dunia.
Investor global pun cenderung waspada. Pasar saham di Asia dan Eropa dilaporkan terkoreksi sesaat setelah kabar serangan Israel menyebar.
Reaksi Dunia Internasional
Hingga kini, respons dunia masih terbagi:
-
Amerika Serikat mendukung “hak Israel untuk membela diri”, namun menyerukan deeskalasi.
-
Rusia dan China mengecam serangan Israel dan menyerukan penghentian kekerasan.
-
Uni Eropa menyerukan dialog, meskipun tak secara tegas menyalahkan pihak mana pun.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dijadwalkan akan mengadakan sidang darurat, tapi hasil nyata dari forum tersebut sering kali tak konkret jika kepentingan negara adidaya ikut bermain.
Akankah Ini Jadi Perang Skala Penuh?
Pertanyaan besar yang menghantui dunia saat ini: apakah ini akan berlanjut menjadi perang terbuka antara dua negara?
Jawabannya belum pasti. Namun jika Iran benar-benar membalas dan Israel tak mengendurkan serangannya, maka konflik skala penuh hampir tak terelakkan.
Yang jelas, saat ini dunia tengah berdiri di ujung tanduk. Satu keputusan salah dari Teheran atau Tel Aviv bisa memicu efek domino yang menjalar ke seluruh kawasan—bahkan dunia.
Dunia Menahan Napas
“2 Negara, 1 Dendam” bukan sekadar frasa dramatis. Ia mencerminkan luka sejarah, persaingan kekuasaan, dan kegagalan dunia dalam menjaga perdamaian di kawasan paling rawan di muka bumi.
Perang Iran vs Israel bukan hanya perang militer—ini adalah perang pengaruh, identitas, dan arah masa depan Timur Tengah.
Dunia kini hanya bisa menunggu, berharap pertarungan ini tidak menjadi perang berkepanjangan. Tapi sejarah mengajarkan kita satu hal: di Timur Tengah, harapan damai sering kali terlalu mahal untuk diwujudkan.