

28 Oktober 1928. Di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, puluhan pemuda dari berbagai suku, agama, dan latar belakang berkumpul. Mereka bersepakat untuk satu hal: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.”
Kalimat sederhana itu bukan hanya slogan—ia adalah ledakan kesadaran yang mengubah jalan sejarah. Tapi apa sebenarnya yang terjadi di balik Sumpah Pemuda? Dan mengapa sumpah ini masih relevan hampir 100 tahun kemudian?
Indonesia Sebelum 1928
Sebelum Sumpah Pemuda, “Indonesia” hanyalah konsep geografis. Masyarakat terpecah oleh:
Penjajahan Belanda yang memakai politik divide et impera (pecah belah).
Perbedaan kasta, suku, dan agama (Jawa vs. luar Jawa, priyayi vs. rakyat jelata).
Bahasa daerah yang jadi pembatas komunikasi.
Pemuda adalah kunci perubahan. Mereka yang sekolah di Belanda atau baca buku Barat mulai sadar: “Kita bisa merdeka jika bersatu!”
Detik-Detik Sumpah Pemuda
Kongres Pemuda II (27-28 Oktober 1928) adalah puncaknya. Di sana:
Para pemuda seperti Soegondo Djojopoespito (Ketua Kongres), Mohammad Yamin, dan WR Supratman hadir.
Lagu “Indonesia Raya” pertama kali dikumandangkan dengan biola—tanpa lirik, karena takut Belanda curiga.
Ikrar Sumpah Pemuda dibacakan dengan penuh getar, direkam dalam tiga poin:
Bertumpah darah satu: Tanah Indonesia.
Berbangsa satu: Bangsa Indonesia.
Menjunjung bahasa persatuan: Bahasa Indonesia.
Fakta menarik: Naskah asli Sumpah Pemuda ditulis tangan oleh Mohammad Yamin di atas kertas sederhana.
Makna yang Terkandung – Lebih Dari Sekadar Teks
Sumpah Pemuda bukan hanya tentang “bersatu”. Ia adalah:
Pemberontakan terhadap kolonialisme: Pemuda menolak dikotomi “Jawa vs. non-Jawa” atau “kasta tinggi vs. rendah”.
Lahirnya identitas baru: Bahasa Melayu (cikal bakal Bahasa Indonesia) dipilih sebagai simbol persamaan derajat.
Kekuatan anak muda: Usia rata-rata peserta kongres di bawah 25 tahun! Bukti bahwa pemuda bisa jadi lokomotif perubahan.
Relevansi Sumpah Pemuda Hari Ini
Di era media sosial dan polarisasi politik, semangat Sumpah Pemuda justru kian penting:
Melawan hoaks & perpecahan: Mirip dengan tantangan pemuda 1928 melawan propaganda Belanda.
Bahasa Indonesia sebagai pemersatu: Di tengah dominasi bahasa Inggris dan slang gaul, kita perlu ingat kenapa bahasa ini dipilih.
Pemuda vs. apatisme: Generasi sekarang ditantang untuk tak hanya viral di TikTok, tapi juga berkontribusi nyata.
Contoh konkret: Gerakan #IndonesiaTanpaBully atau aksi sukarelawan bencana alam adalah bentuk modern Sumpah Pemuda.
Semangat yang Tak Boleh Padam
Sumpah Pemuda mengajarkan satu hal: persatuan bukanlah keseragaman. Kita bisa beda suku, agama, atau gaya hidup, tapi tetap satu tujuan.
“Pemuda 1928 berani bermimpi besar di tengah penjajahan. Kita? Jangan sampai kalah berani hanya karena algoritma media sosial.”
Pertanyaan Refleksi:
Apa yang bisa kamu lakukan hari ini untuk meneruskan semangat Sumpah Pemuda?
Bagaimana caranya agar generasi Z tidak melupakan sejarah ini?